Wednesday 22 September 2010

Au pairs


Prolog

Bezirk 16 Ottakring
. Jam 23.30. Setrikaan masih menggunung di keranjang biru. Sialan, kerja rodi lagi malam ini, rutuk gadis berbadan kurus berambut panjang sepinggang.
Kreeekkk..kreeekk..Astri menekuk badan ke kiri dan ke kanan, gaya orang mau senam. Capek banget kerja seharian! Gila aja, dari jam 07.30 sampai jam segini. Astri melirik jam yang nongkrong di atas meja kamarnya. Jam berbentuk babi yang hidungnya hampir menutupi mukanya yang tembem.
Also, jetzt muss ich los! Astri mengambil setrika dari dalam lemarinya. Satu per satu baju dia gosok baju-baju itu dengan teliti. Peluhpun mulai membasahi tubuhnya. Bbrrrrtt….brrrtttt…getar hp yang ia taruh di atas meja kecil di sebelahnya meja setrika. Astri langsung menyahut samsung kesayangannya.
„Halo, mbak Rani apa kabar?“ sapanya ramah.
„Kabar baik, say. Maaf ya, malam-malam mengganggu!“ terdengar suara Rani yang sedikit berat. Sepertinya ia juga kecapekan, atau mungkin ngantuk, pikir Astri.
„Ah, nggak papa,mbak. Kok belum tidur!“
„Biasa lagi BS (babysitting) di tempat Margarete!“
„Kamu sendiri, belum tidur?“ tanya Rani
„Belum nih, mbak. Lagi setrika! Masih banyak setrikaanku.“
„Hah? Setrika, malam-malam begini?“ ucap Rani setengah tak percaya.
„He eh, emmm..mbak, maaf, besok aja ya dilanjut telponnya!“
„Maaf banget, aku mau lanjutin acara nyetrika.“
„Oh iya, lanjut deh. Eh, kalau capek jangan dipaksain ya!“
„Seep! Dadaaaa, mbak Rani!“
„Daa..“ klik. Astri mematikan telponnya
Malam semakin larut. Sunyi banget. Suara jangkrikpun tak ada. Oh iya, aku lupa, di sini mana ada jangkrik ya??!! bisiknya dalam hati. Badan dan pikiran Astri sudah susah diajak kompromi. Melihat kasur, bantal ama gulingnya serasa melihat surga. Indahnya bila aku berbaring di sana, batinnya.
Ia pun ngebut menggosok baju-baju yang ada di keranjang. Ah, yang penting rapi. Ntar kalau dah selesai langsung tidur. Pasang wecker, biar esok nggak kesiangan. Miris dia merasakan hari-harinya. Semakin hari kok, semakin banyak kerjaan. Mirip pembantu saja!,gumannya. Tiba-tiba ia teringat akan ayah ibunya di Jakarta. Rasa rindu menyelimuti hatinya.

Rumah keluarga Hoffman
Rani asyik memencet-mencet tombol remote TV. Ah, males! Acaranya nggak seru. Jam malam. Siarannya cuman yang syur-syur mulu, masak nggak ada suara lain selain suara orang mendesah-desah! sungutnya sambil meraih kopi yang barusan dia buat. Kemudian, dia melangkah ke kamar tidur Antonia. Dengan mengendap-edap perlahan dia menuju ke tempat tidur anak kecil itu. Pintu kamar sengaja ia tutup rapat-rapat. Anak itu, sangat sensitif pendengarannya. Pernah suatu malam, di mana orang tuanya pulang, dia justru terbangun mendengar suara ayah ibunya ngobrol dengan Rani. So, mending pas Antonia tidur, Rani memilih pake „babyphone“ lebih aman!
Aii, manis banget liat wajah polosnya yang lagi nyenyak tidur. Rani membetulkan letak selimut kecilnya. Sejenak dia memandang dan mengelus-elus rambut Antonia penuh kasih. Lucu banget, rambut emak ama bapaknya bocah ini item. Lah, kok anak kecil ini rambutnya blonde. Ah dasar anak bule, cepet berubah-ubah. Warna mata juga bisa berubah-ubah, coklat, trus agak besaran jadi biru, eh udah gede malah jadi abu-abu. Asal nggak jadi putih sih nggak papa!
Rani kembali menutup kamar dan beranjak ke ruang tamu. Hmm, hari ini 6 jam aku BS, lumayan juga penghasilanku kali ini. Nungguin anak tidur dapat 60 euro.
Brrrpp…brpppp..sebuah sms masuk dari Prilla temennya! Chef! Besok aku bikinin rempeyek kacang hijau 2 bungkus, rendang buat 4 porsi sama klepon. Eh, iya kemaren aku nyoba bikin klepon ngga jadi. Nasib! Alhamdulillah, rezeki!, batin Rani sambil tersenyum-senyum.

Kamar Sita, Penzing
„Halo yung, Rika kepriben kabare?“
„Apek, sehat. Lah, rika kepriben? Kerasan ora ning kana?“ suara ibunya Sita dari belahan bumi yang lain. Jam 24 waktu Austria. Selisih waktu musim panas sekitar 6 jam. Jadi kira-kira jam 6 pagi waktu Indonesia.
„Iya, inyong bae-bae. Inyong kerasan nang kene!“
„Syukur alhamdulillah, biyung melu seneng..“
„Biyung rasah kawatir karo inyong!“
„Iya“
Terdengar alunan suara serak ngapak Sita dari dalam kamarnya. Gadis manis berlesung pipi dan berwajah bulat dari Cirebon.
„Wes, sesuk bae inyong sing telpun. Kan larang telpun seko kana.Wes ya, Yung, daa…!“
Tuuutt…tuuuuttt..tuuuutt…Sita pun menutup memutus telpun. Baru 2 minggu, Sita di kota Wina. Sebenarnya, biyung enggan melepaskan anak semata wayangnya ini ke luar negeri. Bayangkan, sepertinya biyung baru saja kemaren menyuapin Sita dengan nasi goreng terasi dan telur dadar, membangunkan dia untuk sholat subuh, sekarang biyung harus berdua dengan suaminya yang biasa Sita sebut „Rama“ berduaan saja. Sepi. Tapi ada daya biyung, cita-cita Sita ke luar negeri lebih kuat.
Pesan biyung,“Aja lali sama kampung halaman ya, nok! Inget keluarga! Inget karo gusti Allah, sholat!“ Kalimat itulah kalimat yang terakhir terdengar oleh Sita di bandara cengkareng. Ia pun buru-buru ngacir ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Belum sholat Isya!

Samping kedutaan Jerman, 1030 Wien
Treeeett…treeeettt…treeeettt….treeeeettt
Ah, suara itu lagi, siapa sih malam-malam kirim fax, gangguin orang lagi tidur aja, rutuk Vika kesal. Dengan mata setengah terpejam, rika membuka pintu kamarnya yang terhubung langsung dengan ruangan sebelah yang dipakai kantor oleh keluarga asuhnya.
Woaahhmmm…gadis itu menguap keras sambil mengucek-ucek mata. Dia keliatan celingukan mencari-cari saklar lampu. Nah ini dia, bisiknya. Klik. Vika sengaja menutup matanya sejenak, lalu membukanya pelan-pelan agar matanya terbiasa dengan nyala lampu. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Masih dengan menggenakan piyama, ia berjalan ke arah mesin fax yang sekaligus berfungsi sebagai printer.
Aneh, kok nggak ada? Jelas-jelas tadi aku mendengar suara mesin fax, pikir gadis itu sambil mengamati mesin yang terletak atas meja sudut ruangan kantor. Bolak-bolak ia mencari kertas yang keluar dari mesin ini, tapi nihil. Dia jongkok dan mencari di bawah meja, siapa tahu tadi jatuh ketuip angin. Jendela kantor memang dibiarkan dalam keadaan terbuka sedikitpada malam hari.
Tugas Vika sebenarnya untuk kembali menutupnya ketika Vika mau tidur. Tadi dia kelupaan. Dia benar-benar meyakinkan bahwa pendengarannya masih bagus. Rasa-rasanya aku nggak salah dengar, masa iya sih aku mimpi dengar orang kirim fax, dia masih saja meyakinkan diri.
Tiba-tiba dia terlonjak ketika mengamati kabel yang terhubung dengan mesin fax. Oh, nein, nein, es geht nicht…neiiiinnn….dia seolah-olah tak mempercayai penglihatannya. Kabel itu tidak terhubung ke mesin fax. Lalu? Tadi suara apa??Bulu kuduknya tiba-tiba serempak berdiri. Lariiiii…..
Ia buru-buru lari ke dalam kamarnya, menutup pintu rapat-rapat. Tubuhnya menggigil, bersembunyi di balik selimut sambil komat kamit mulutnya. Arrgggghhh….aku paling benci di kamar sendiri. Kenapa sih, Mila pake acara nginep di rumah temennya segala, teriaknya kesal pada dirinya sendiri.
Mila adalah teman sekamar, eh setempat tidur Vika. Sebenarnya, Mila dan Vika punya fasilitas kamar sendiri-sendiri. Berhubung, Vika masih baru, diapun minta ditemenin Mila yang lebih duluan menjadi anak asuh di keluarga Weiss. Kebetulan juga, Vika dan Mila sama-sama dari kota yang mendapat julukan paris van java.
***********************************************************

Pesan dari Au pairs : Jangan pernah samakan kami (au pair) sebagai TKW/TKI

1 comment:

Dini Ardianty said...

Penasaraaaaannnn!!!

Kasih tau yah, Kak kalo udah terbit :)